Hubungan cinta kedua sejoli ini bergetar ketika umur Laila 12 tahun dan Majnun 13 tahun.
Percintaan yang terlalu dini ini tidak direstui oleh keluarga kedua belah pihak, sehingga terjadilah pemutusan hubungan.
Laila dikurung ketat di dalam kamarnya sehingga Majnun tak dapat lagi menemuinya. Jangankan berbicara dengannya, mendengar suaranya pun tak bisa lagi.
Hanya bayang-bayang yang menyiksa diri….
Situasi itu membuat Majnun menjadi puitis, bahkan mulai miring- miring.
Orang sekampung menganggapnya gila (majnun artinya gila), karena ia selalu bicara bergaya puisi mengenai Laila.
Dengan susunan kata-kata dalam kehampaan yang indah.
Dalam kegilaan tak tertahankan itu, Majnun memutuskan untuk membuang hidupnya, mengembara seorang diri di padang pasir yang kejam, tidur menjelapak di reruntuhan bangunan tua, campur-baur dengan serigala.
Yang dilakukannya setiap hari hanyalah merenungi nasib, meratapi cinta, menyebut-nyebut nama Laila.
Jika ada orang bertemu dengannya ia langsung membacakan puisi tentang Laila.
Jika ada angin bertiup dari arah desa Laila, ia menadahkan badannya untuk menghirup sebanyak-banyaknya angin yang telah menyentuh Laila sebelumnya.
Hanya Laila dalam setiap tarikan nafasnya, o…, hanya ada Laila!
Orang sekampung menganggapnya gila (majnun artinya gila), karena ia selalu bicara bergaya puisi mengenai Laila.
Dengan susunan kata-kata dalam kehampaan yang indah.
Dalam kegilaan tak tertahankan itu, Majnun memutuskan untuk membuang hidupnya, mengembara seorang diri di padang pasir yang kejam, tidur menjelapak di reruntuhan bangunan tua, campur-baur dengan serigala.
Yang dilakukannya setiap hari hanyalah merenungi nasib, meratapi cinta, menyebut-nyebut nama Laila.
Jika ada orang bertemu dengannya ia langsung membacakan puisi tentang Laila.
Jika ada angin bertiup dari arah desa Laila, ia menadahkan badannya untuk menghirup sebanyak-banyaknya angin yang telah menyentuh Laila sebelumnya.
Hanya Laila dalam setiap tarikan nafasnya, o…, hanya ada Laila!
Ketika
ia mendengar kabar Laila telah dinikahkan oleh orangtuanya kepada
lelaki lain, Majnun menangis sejadi-jadinya.
Ialah tangisan yang merobek langit, mencerca rembulan, memaki bumi.
Akan tetapi di akhir tangisan itu ia memperoleh pencerahan, ialah pemahaman mengenai makna cinta, kasih sayang, rindu dan kekasih, dalam arti yang setinggi-tingginya.
Pada akhirnya ia tersenyum bahagia menikmati indahnya hubungan cintanya dengan Laila.
Ialah tangisan yang merobek langit, mencerca rembulan, memaki bumi.
Akan tetapi di akhir tangisan itu ia memperoleh pencerahan, ialah pemahaman mengenai makna cinta, kasih sayang, rindu dan kekasih, dalam arti yang setinggi-tingginya.
Pada akhirnya ia tersenyum bahagia menikmati indahnya hubungan cintanya dengan Laila.
Di pihak lain, Laila
berkata kepada suaminya itu bahwa ia takkan pernah menjadi isteri bagi
suaminya, sebagaimana lazimnya.
“Segeralah cari perempuan lain!” ia berkata.
Dan hanya itulah perkataan yang pernah diucapkannya kepada suaminya itu, selanjutnya mereka tak pernah memiliki hubungan dalam hal apa pun!
“Segeralah cari perempuan lain!” ia berkata.
Dan hanya itulah perkataan yang pernah diucapkannya kepada suaminya itu, selanjutnya mereka tak pernah memiliki hubungan dalam hal apa pun!
Laila
dan Majnun pernah bertemu dalam satu kesempatan.
Ketika itu mereka hanya mampu saling berpandangan, dan Majnun menunjukkan penderitaannya sebagai orang gila sebagai bukti cintanya.
Sebagai balasannya Laila berkata: “Engkau dapat melampiaskan kerinduanmu dengan puisi, dengan berlaku gila, dengan berteriak sesuka hati.
Tetapi aku memendamnya seorang diri, membiarkan api membakar tubuhku dari dalam, bertahun-tahun. Jadi, siapa di antara kita yang paling menderita?”
Ketika itu mereka hanya mampu saling berpandangan, dan Majnun menunjukkan penderitaannya sebagai orang gila sebagai bukti cintanya.
Sebagai balasannya Laila berkata: “Engkau dapat melampiaskan kerinduanmu dengan puisi, dengan berlaku gila, dengan berteriak sesuka hati.
Tetapi aku memendamnya seorang diri, membiarkan api membakar tubuhku dari dalam, bertahun-tahun. Jadi, siapa di antara kita yang paling menderita?”
Itu adalah pertemuan terakhir mereka.
Ketika
mendapat kabar Laila meninggal dunia, Majnun datang menjiarahi
makamnya.
Di pusara itu sekali lagi Majnun menangis, menyandarkan kepalanya di atas pusara itu, dalam nikmat cinta.
Ia membiarkan takdir menjemputnya dalam kerelaan untuk menyempurnakan kebahagiaanya dalam memiliki kekasih.
Majnun pun meninggal dunia di pusara itu dengan tenang, tanpa seorang pun tahu!
Di pusara itu sekali lagi Majnun menangis, menyandarkan kepalanya di atas pusara itu, dalam nikmat cinta.
Ia membiarkan takdir menjemputnya dalam kerelaan untuk menyempurnakan kebahagiaanya dalam memiliki kekasih.
Majnun pun meninggal dunia di pusara itu dengan tenang, tanpa seorang pun tahu!
*****
Pengarang
Kisah Laila Majnun adalah seorang ulama sufi, Syech Maulana Hakim
Nizhami, lahir di Kota Ganje, Ajerbaijan pada tahun 1155 M dan meninggal
pada tahun 1223 M. Nizhami belajar Ilmu Sufi langsung kepada Nabi
Chidir As.
Kisah Laila Mjnun sendiri berlatar belakang Kota Baghdad, Iraq, sebelum datangnya serangan Byzantium yang menandai bangkitnya Kerajaan Romawi Konstantinopel.
Kisah Laila Mjnun sendiri berlatar belakang Kota Baghdad, Iraq, sebelum datangnya serangan Byzantium yang menandai bangkitnya Kerajaan Romawi Konstantinopel.
Kisah
Laila Majnun yang karya aslinya terdiri dari 4500 sajak, telah menjadi
bacaan populer ummat manusia selama berabad-abad, bahkan sampai hari
ini.
Kisah itu pula dipercaya telah mengilhami Williem Shakespeare ketika meciptakan naskah drama klasik Romeo dan Juliet, juga mengilhami Max Havelaar dalam Saijah dan Adinda. Rama dan Shinta, Tom and Jerry, dan sebagainya.
Bahkan gaya bahasa pujangga dunia Khalil Gibran (asal Lebanon) dengan prosa liriknya yang terkenal, sangat kental mengadopsi gaya bahasa Laila Majnun.
Kisah itu pula dipercaya telah mengilhami Williem Shakespeare ketika meciptakan naskah drama klasik Romeo dan Juliet, juga mengilhami Max Havelaar dalam Saijah dan Adinda. Rama dan Shinta, Tom and Jerry, dan sebagainya.
Bahkan gaya bahasa pujangga dunia Khalil Gibran (asal Lebanon) dengan prosa liriknya yang terkenal, sangat kental mengadopsi gaya bahasa Laila Majnun.
Berikut kutipan sajak yang dibacakan oleh Majnun dalam kegilaannya:
“Oh,
lilin jiwaku. Jangan kau siksa diriku ketika aku mengelilingimu.
Kau telah memikatku, merampas tidurku, akalku juga tubuhku.”
Kau telah memikatku, merampas tidurku, akalku juga tubuhku.”
Laila adalah cahaya malam, Majnun adalah sebatang lilin.
Laila adalah keindahan, Majnun adalah kerinduan.
Laila menabur benih cinta, Majnun menyiraminya dengan air mata.
Laila memegang cawan cinta, Majnun berdiri mabuk oleh aromanya.
Laila adalah keindahan, Majnun adalah kerinduan.
Laila menabur benih cinta, Majnun menyiraminya dengan air mata.
Laila memegang cawan cinta, Majnun berdiri mabuk oleh aromanya.
“Aku
bagaikan orang yang kehausan. Kau pimpin aku menuju sungai Eufrat, lalu
sebelum sempat aku minum, kau menarikku dan kembali ke kawasan panas
membara.
Padang pasir yang tandus. Kau mengajakku ke meja jamuan, tapi tidak pernah mempersilakanku makan!
Mengapa kau menampakkannya kepadaku di awal, jika tidak pernah berniat untuk membiarkan aku memiliki hartaku.?”
Padang pasir yang tandus. Kau mengajakku ke meja jamuan, tapi tidak pernah mempersilakanku makan!
Mengapa kau menampakkannya kepadaku di awal, jika tidak pernah berniat untuk membiarkan aku memiliki hartaku.?”
Banyak
pengamat menilai, ‘cinta dan kasih sayang’ dalam kisah Laila Majnun ini
adalah cara berekpressi pengarangnya, Syech Maulana Hakim Nizhami,
dalam mencintai Tuhannya.
*sumber: Laila Majnun.com
Posting Komentar